Sejarah, Asal Usul dan Kebudayaan Suku Batak
|  | 
| Pejuang Batak (foto:wikipedia indonesia) | 
Sejarah,
 Asal Usul dan Peradaban Suku Batak. Suku Batak merupakan sebuah tema 
kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim 
dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Agama 
yang dianut suku ini adalah agama Kristen Protestan, Kristen Katolik dan
 Islam Sunni. Adapula yang menganut kepercayaan tradisional seperti 
tradisi Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (Sipelebegu atau 
Parbegu) walaupun penganutnya sudah berkurang.
Dalam
 sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan 
Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis 
Batak.
Suku batak memiliki beberapa sub-sub suku lain yang dikategorikan sebagai:
1. Batak Toba
2. Batak Karo
3. Batak Pakpak
4. Batak Simalungun
5. Batak Angkola
6. Batak Mandailing.
Pada
 abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang 
Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus 
yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah 
Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di 
samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal 
ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir 
Sumatera[3]. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai 
banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di 
pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang 
dari Barus, Sorkam, hingga Natal.
Baca Juga:
√ Artikel Tari Radap Rahayu Dari Kalimantan Selatan
Sejarah
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia dimana bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia berasal dari Taiwan yang telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu pada zaman batu muda (Neolitikum).
Belum 
diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali berada di Tapanuli
 dan Sumatera Timur. Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum
 yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang 
Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam.
Identitas Batak
Ada tiga pendapat yang mengungkapkan mengenai identitas suku batak yaitu;
1.
 R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara
 tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. 
Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya 
terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau 
antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari 
satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar.
2. 
Munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi 
pada zaman kolonial. Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa 
istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak asing.
3.
 Siti Omas Manurung, istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, 
bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun 
Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah 
membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut.
Sebuah 
mitos yang memiliki berbagai macam versi tentang asal usul suku batak 
menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, 
adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut 
juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya
 masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian 
disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di 
Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H 
Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, 
yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, 
daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil 
diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini 
terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa 
Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke 
pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada 
abad ke-14 untuk menguasai Barus.
Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh orang Batak adalah bahasa Batak dan sebagian juga ada yang menggunakan bahasa Melayu. Setiap puak memiliki logat yang berbeda-beda. Orang Karo menggunakan Logat Karo, sementara logat Pakpak dipakai oleh Batak Pakpak, logat Simalungun dipakai oleh Batak Simalungun, dan logat Toba dipakai oleh orang Batak Toba, Angkola dan Mandailing.
Kesenian
Tari Tor-tor merupakan kesenian yang dimiliki suku Batak. Tarian ini bersifat magis. Ada lagi Tari serampang dua belas yang hanya bersifat hiburan. Sementara alat musik tradisionalnya adalah Gong dan Saga-saga. Adapun warisan kebudayaan berbentuk kain adalah kain ulos. Kain hasil kerajinan tenun suku batak ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara menari Tor-tor.
Penyebaran agama
Masuknya Islam
Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatkan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.
Pada masa 
Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah 
Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing
 dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat 
mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut 
agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Kerajaan Aceh di utara, 
juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak. 
Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat 
Melayu di pesisir Sumatera Timur.
Masuknya Kristen
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
Selanjutnya
 Misi Katolik di Tanah Batak terhitung sejak Pastor Misionaris pertama 
yakni Pastor Sybrandus van Rossum, OFM.Cap masuk ke jantung Tanah Batak,
 yakni Balige tanggal 5 Desember 1934.
Masyarakat Toba 
dan sebagian Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal 
abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya.
Kepercayaan
Sebelum suku Batak Toba mengenal agama, mereka menganut sistem kepercayaan religi tentang Mulajadi na Bolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:
Tondi
 : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena 
itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang 
di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang 
tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap 
(menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
Sahala :
 adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang 
memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama 
dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau 
hula-hula.
Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Salam Khas Batak
Salam Horas merupakan salam Suku Batak yang terkenal, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
Kekerabatan
Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan 
garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si 
Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan 
kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan 
antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, 
yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian 
Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap 
vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya 
dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh 
terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya 
falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok 
dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi 
agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena 
merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama 
dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak 
boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
Dalam persoalan
 perkawinan, dalam tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah 
dengan orang Batak yang berbeda klan. Maka dari itu, jika ada yang 
menikah harus mencari pasangan hidup dari marga lain. Apabila yang 
menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak, maka dia harus 
diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan). Acara tersebut 
dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang dilakukan di gereja bila 
agama yang dianutnya adalah Kristen.
Falsafah dan sistem kemasyarakatan
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut kelima puak Batak
1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru
2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru
3.
 Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah • 
Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru
Hulahula/Mora
 adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang 
paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku
 Batak.
Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan 
Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari
 perut yang sama.
Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga 
yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini 
menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik 
dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat.
 Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa 
diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil 
hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Dari 
silsilah diatas, bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak.
 Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai 
konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga 
sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus 
menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga 
dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja
 dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi 
orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem 
kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut 
Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
Ritual kanibalisme
Dibawah ini adalah beberapa dokumentasi mengenai praktik ritual kanibalisme pada kalangan suku Batak terdahulu.
1.
 Dalam memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi dipesisir timur
 Sumatera dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan bahwa 
ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat 
pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia". Dari sumber-sumber 
sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di 
antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah 
pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk 
memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual 
tersebut.
2. Niccolò Da Conti (1395-1469), seorang 
Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam 
perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara 
(1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi
 singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech 
kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".
3.
 Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, 
serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara 
detail tentang pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan bahwa: 
"Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika
 terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan 
dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan 
kapur, garam dan sedikit nasi".
4. Para dokter Jerman 
dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada 
tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di 
antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan 
bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah 
desa yang ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah 
daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya. Namun 
hal ini terkadang dibesar-besarkan dengan maksud menakut-nakuti 
orang/pihak yang bermaksud menjajah dan/atau sesekali agar mendapatkan 
pekerjaan yang dibayar baik sebagai tukang pundak bagi pedagang maupun 
sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak 
laut.
5. Oscar von Kessel mengunjungi Silindung pada 
tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang 
mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan 
dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk
 beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap 
oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya 
dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, 
perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon 
harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima
 putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.
6.
 Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun 
dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan 
perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah 
secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat 
menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; 
telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain 
klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging 
kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada 
umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak 
diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".
Ritual
 kanibalisme ini mulai hilang ketika pada tahun 1890, pemerintah 
kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka. Rumor 
kanibalisme ini bertahan hingga awal abad ke-20, dan telah jarang 
dilakukan sejak tahun 1816 karena pengaruh agama pendatang.
Baca Juga:
√ Artikel Soto Banjar Kuliner Tradisional Kalimantan Selatan
Tarombo
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Itulah
 Rangkuman Sejarah, asal usul dan kebudayaan suku Batak. Untuk lebih 
jelasnya anda dapat mengunjungi referensi tulisanya ini yang tertera 
dibawah.
Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak diakses tanggal 19 januari 2015
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/952/suku-batak-sumatera-utara diakses tanggal 19 januari 2015 
 

Belum ada Komentar untuk "Sejarah, Asal Usul dan Kebudayaan Suku Batak"