Cerita Wayang Kulit Berdirinya Negara Hastina

Di istana negara Gilingwesi, Prabu Resapada sedang dihadap oleh Patih Gentayasa atau Gentawiyasa, beserta para punggawa sedang membahas adik Prabu Respada yang bernama Dewi Resweni yang dianggap sebagai perawan tua, meskipun banyak yang melamar tetapi belum mau berumah tangga. Selain itu, mereka membicarakan kedua anak Prabu Respada yang bernama Dewi Reswati, dan Dewi Resawulan yang sudah berangkat dewasa serta telah banyak yang melamar, tetapi kedua putri itu belum juga mau dikawinkan sehingga membuat sedih Prabu Respada. Belum selesai berbicara tiba-tiba ada tamu bernama Raden Kuswanalendra yang berniat meminta-minta kursi singgasana yang sedang diduduki Prabu Respada. Raden Kuswanalendra keluar dan Prabu Respada menyuruh Patih Genthayasa untuk mengusir Kuswanalendra karena meminta kursi yang di dudukinya di negara Gilingwesi. Patih Gethayasa keluar istana diikuti oleh para wadyabala.

Sesampai di Alun-alun, Patih Genthayasa menemui Kuswanalendra dan menghimbau agar segera meninggalkan negara Gilingwesi supaya tidak menimbulkan keributan.

Raden Kuswanalendra tidak bersedia pergi, bahkan berterus terang bahwa kedatangannya ini ingin menjadi raja di Negara Gilingwesi.

Mendengar jawaban Raden Kuswanalendra, Patih Genthayasa sangat marah, sehingga terjadi pertempuran antara Patih Genthayasa melawan Raden Kuswanalendra. Patih Genthayasa kewalahan meladeni kesaktian Raden Kuswanalendra, segera ia menyiapkan wadyabala. Raden Kuswanalendra dibantu oleh Raden Berjanggapati, semar dan bagong. Raden Berjanggapati melepaskan pusaka neraca bala, sehingga terjadi hujan anak panah di alun-alun Negara Gilingwesi menghujani dan menyerang para wadyabala Negara Gilingwesi. Akibatnya, banyak wadyabala yang tewas dan terluka.

Wadyabala Negara Gilingwesi mundur, namun terus diburu oleh Raden Kuswanalendra beserta Raden Berjanggapati sampai ke dalam istana.

Di dalam istana Negara Gilingwesi, Prabu Respada mendapat laporan Patih Genthayasa, bahwa para wadyabala Negara Gilingwesi tidak mampu menghadapi Raden Kuswanalendra dan Raden Berjanggapati. Prabu Respada merasa kawatir, lalu beliau memerintahkan Patih Genthayasa untuk menyelamatkan dan mengungsikan dewi Reswani dan segera meninggalkan istana Negara Gilingwesi. Segeralah mereka melarikan diri dari pintu rahasia.

Setelah Patih Genthayasa dan dewi reswani meninggalkan istana, Raden Kuswanalendra datang beserta Raden Berjanggapati, Semar dan Bagong. Prabu Respada di tangkap Raden Kuswanalendra hendak dibunuhnya tetapi segera dicegah oleh Raden Berjanggapati Semar dan Bagong. Raden Kuswanalendra tetap pada pendiriannya, ingin menguasai kerajaan Negara Gilingwesi. Sebelum melaksanakan niatnya membunuh Prabu Respada, tiba-tiba datanglah dewi Resawati dan Resawulan, memohon kepada Raden Kuswanalendra agar sudi melepaskan Prabu Respada, mereka berdua sanggup menggantikan hukuman ayahnya. Melihat kecantikan kedua gadis tersebut, Raden Kuswanalendra mengurungkan niatnya untuk membunuh Prabu Respada. Sebagai gantinya dewi Resawati dan Resawulan akan dikawinkan dengan Raden Kuswanalendra dan Raden Berjanggapati. Kedua putri itu menyanggupinya. Akhirnya Prabu Respada diampuni, tetapi tidak berkuasa lagi di Negara Gilingwesi, Prabu Respada juga sanggup. Selanjutnya Raden Kuswanalendra menikah dengan dewi Resawati, dewi Resawulan menjadi istri Raden Berjanggapati. Raden Kuswanalendra menggantikan kedudukan Prabu Respada sebagai raja Negara Gilingwesi bergelar Prabu Kuswanalendra.

Melihat kajadian itu, Semar dan Bagong tidak berkenan dengan apa yang telah dilakukan oleh Raden Kuswanalendra karena telah meninggalkan watak satriya, maka Semar dan Bagong meninggalkan Negara Gilingwesi, mencari kerabat keturunan kasutapan.
Diceritakan, Patih Genthayasa yang mendapat perintah mengungsikan Dewi Resweni telah sampai di tengah hutan, mereka beristirahat karena kelelahan berlari. Setelah hilang rasa lelahnya Patih Genthayasa mendekati Dewi Resweni dan menyatakan cintanya kepada Dewi Resweni. Mendengar pernyataan Patih Genthayasa Dewi Resweni terkejut dan merasa risih jika berdekatan dengan Patih Genthayasa, maka Dewi Resweni melarikan diri menghindar dari Patih Genthayasa. Patih Genthayasa berusaha mengejarnya.

Dalam pelarian itu, Dewi Resweni memasuki wilayah Pertapaan Tejageni. Di Pertapaan Tejageni, Begawan Bahusena sedang mengasuh putranya yang bernama Raden Bahusancana atau Raden Mandrabahu. Diceritakan, setelah Begawan Sekutrem dan Begawan Sakri meninggal dengan keadaan hilang bersama raganya (Mekrat), Pertapaan Tejageni menjadi kosong. Oleh karena itu, Batara Narada menurunkan putra Prabu Harjuna Wijaya yang bernama Raden Bahusena.

Semasa hancurnya negara Mahespati, Bahusena masih kecil. Saat ini Bahusena diserahi tugas untuk membangun Pertapaan Tejageni dan bergelar Begawan Bahusena. Sebagai upah Bahusena dinikahkan dengan bidadari yang sangat cantik bernama Dewi Mandrawati putri Batara Sukra. Sudah menjadi kehendak Batara Agung, bahwa dewi Mandrawati meninggal dunia ketika malahirkan Raden Mandrabahu. Dengan perasaan sedih Begawan Bahusena berusaha membesarkan Raden Mandrabahu sendirian tanpa istrinya. Saat termenung memikirkan nasibnya, Begawan Bahusena di kejutkan oleh suara orang bersendau gurau. Begawan Bahusena sambil menggend Mandrabahu mendekati suara itu. Kiranya setelah meninggalkan negara Gilingwesi Semar dan Bagong tersesat sampai di Pertapaan Tejageni. Mereka berkenalan, Begawan Bahusena menyatakan, bahwa ia sebetulnya putra raja Mahespati, putra Prabu Harjuna Wijaya yang dilahirkan oleh dewi Srinadi. Mendengar keterangan Begawan Bahusena, Semar dan Bagong merangkul Begawan Bahusena sambil menangis. Setelah reda tangisnya, Semar bercerita, bahwa ia dulu bekas Abdi Prabu Harjuna Wijaya. Sebetulnya Prabu Harjuna Wijaya mempunyai dua putra yang dilahirkan oleh kedua istrinya.

Dewi Citrawati malahirkan Raden Kusumacitra yang sewaktu kerusuhan terjadi di selamatkan Semar dan Bagong, dan yang satu lagi Raden Bahusena yang dilahirkan oleh Dewi Srinadi, yang pada waktu terjadi kerusuhan masih bayi dan diberitakan hilang. Kiranya hilangnya Raden Bahusena pada waktu itu diambil oleh dewata. Begawan Bahusena membenarkan cerita Semar itu setelah jelas persoalanya. Semar dan Bagong bersedia mengikuti Begawan Bahusena bertempat tinggal di Pertapaan Tejageni. Semar dan Bagong membantu mengasuh Raden Mandrabahu.

Setelah beberapa hari di Pertapan Tejageni, Semar dan Bagong dipanggil Begawan Bahusena untuk diajak berunding. Berhubung Raden Mandrabahu sudah besar, maka Begawan Bahusena ingin menebang hutan dan membangun suatu negara yang nantinya akan diberikan kepada Raden Mandrabahu. Semar dan Bagong sangat setuju dengan rencana Begawan Bahusena itu, maka mereka segera mengadakan persiapan untuk mencari hutan mana yang hendak di tebang.

Belum sampai berangkat, tiba-tiba mereka mendengar suara jeritan minta tolong. Begawan Bahusena mencari suara itu, tampak dari kejauhan Dewi Resweni sedang berlari dikejar Patih Genthayasa.
Sesampai di hadapan Begawan Bahusena Dewi Resweni menangis minta pertolongan, dijelaskan bahwa ia dipaksa Patih Genthayasa hendak diperistri, maka bila Begawan Bahusena sanggup menolong, Dewi Resweni bersedia menjadi istri Begawan Bahusena.

Dewi Resweni lalu diajak masuk ke dalam pertapaan. Melihat Dewi Resweni ada yang menolong, Patih Genthayasa menjadi marah, sehingga terjadi pertempuran antara Begawan Bahusena melawan Patih Genthayasa. Patih Genthayasa kalah, lalu menyerah dan minta ampun kepada Begawan Bahusena. Begawan Bahusena memaafkan Patih Genthayasa dengan sarat Patih Genthayasa tidak boleh mengganggu Dewi Resweni, sebab Dewi Resweni akan menjadi istri Begawan Bahusena. Patih Genthayasa sanggup, lalu diampuni dan dipersilahkan tinggal di Pertapaan Tejageni. Patih Genthayasa diserahi menjaga keselamatan Dewi Resweni dan Raden Mandrabahu, sebab Begawan Bahusena akan menebang hutan.

Begawan Bahusena meneruskan niatnya menebang hutan dibantu Semar dan Bagong. Begawan Bahusena berjalan sampai di tempat yang banyak ditumbuhi tanaman ubi (uwi) semacam ubi jalar yang pohonya melilit ke atas dan ubinya di dalam tanah. Setelah dirasa cocok maka dimulailah pekerjaan mebabati tumbuhan uwi itu.

Diceritakan, saat tengah bekerja menebang hutan, Begawan Bahusena melihat dari kejauhan Dewi Resweni menggendong Raden Mandrabahu sambil menangis lalu mengadu bahwa ia diganggu Patih Genthayasa. Mendengar aduan istrinya, Begawan Bahusena bangkit amarahnya. Begawan Bahusena meninggalkan hutan menuju Pertapaan Tejageni. Patih Genthayasa yang melihat kedatangan Begawan Bahusena sambil marah itu menjadi sangat ketakutan, lalu menyembah meminta maaf. Begawan Bahusena merasa kasihan melihat Patih Genthayasa seperti itu, kemudian Dewi Resweni dipanggil dan diajak masuk ke dalam sanggar pamujan. Sesampai didalam sanggar, Begawan Bahusena bersemedi mohon petunjuk dewata lalu mengambil Daki Dewi Resweni seketika itu, munculah seorang putri menyerupai Dewi Resweni, putri tersebut diberi nama Dewi Reswati. Selanjutnya Dewi Reswati di ajak keluar untuk menemui Patih Genthayasa. Dewi Reswati diberikan kepada Patih Genthayasa sebagai istrinya, sehingga Patih Genthayasa sangat gembira. Begawan Bahusena memerintahkan Patih Genthayasa dan istrinya meninggalkan Pertapaan Tejageni, disuruh menebang hutan gambir, kelak jika sudah menjadi negara, seyogyanya dinamakan negara Gambir Anom.

Dengan senang hati Patih Genthayasa dan Reswati meninggalkan Pertapaan Tejageni. Setelah sampai di hutan gambir, hutan ditebang hingga akhirnya dijadikan sebuah negara, sesuai dengan pesan Begawan Bahusena, negara itu diberi nama negara Gambir Anom. Patih Genthayasa menjadi raja pertama bergelar Prabu Genthayasa.

Diceritakan setelah kepergian Patih Genthayasa dan istrinya, Begawan Bahusena meneruskan menebang hutan hingga selesai, serta mengubah menjadi sebuah negara yang dinamakan negara Wiratha. Raja pertama negara Wiratha adalah Raden Mandrabahu bergelar Prabu Anom Bahusancana.

Perkawinan Begawan Bahusena dengan Dewi Resweni juga membuahkan seorang putra yang bernama Raden Swandana.

Untuk menjaga jangan sampai kedua anaknya berebut negara, maka Begawan Bahusena menebang hutan lagi yang di tebang adalah hutan pohon ingas, setelah selesai di tebang, dibangun sebuah negara, dinamai negara Ngastina atau Hastina. Raja pertama di negara Ngastina adalah Raden Swandana bergelar Prabu Anom Sentanu Dewa.

Diceritakan, setelah berdirinya negara Wiratha dan Ngastina, kedua negara tersebut berkembang dengan pesat, rakyatnya semakin banyak karena tanahnya subur, banyak masyarakat di sekitar kedua negara itu berdagang ke negara Ngastina dan menetap di sana serta tak kembali lagi ke negaranya termasuk para kawula di Negara Gilingwesi. Banyak yang maninggalkan Negara Gilingwesi karena tidak senang dengan peraturan Raden Kuswanalendra yang sangat sombong. Melihat rakytnya banyak pindah ke negara Ngastina dan Wiratha, Prabu Kuswanalendra menyiapkan pasukannya untuk menyerang Wiratha. Sesampai di alun-alun Wiratha, Prabu Kuswanalendra dan pasukannya dihadang oleh Begawan Bahusena dan wadyabala negara Wiratha. Terjadilah perang yang sangat seru di alun-alun negara Wiratha, Begawan Bahusena dike-royok oleh Prabu Kuswa-nalendradan raden Berjanggapati, akan tetapi keduanya dapat ditangkap dan di ikat oleh Begawan Bahusena. Melihat raja nya ditawan Begawan Bahusena, wadyabala negara Gilingwesi melarikan diri ke negaranya.

Setelah Prabu Kuswanalendra dan Raden Bejanggapati ditawan mereka mengaku salah dan merasa bersalah kepada Begawan Bahusena, akhirnya mereka berdua meminta pengampunan kepada Begawan Bahusena. Begawan Bahusena merasa kasihan kepada mereka berdua, keduanya diampuni tetapi tidak diperbolehkan kembali ke Negara Gilingwesi. Prabu Kuswanalendra diperintahkan menebang hutan pohon Cangkring, yang banyak terdapat tawon gung. Prabu Kuswanalendra menebang pohon cangkring akibatnya banyak lebah (tawon) yang mati tertimpa pohon, disana ada raja tawon yang bernama raja Galenggung, melihat kawulanya banyak yang mati timbul amarahnya. Dia keluar dari sarangnya dan menyerang Prabu Kuswanalendra. Prabu Kuswanalendra mengambil panah sakti lalu dilepaskan mengenai raja Galenggung dan seketika itu mati. Prabu Kuswanalendra marah tempat raja Galenggung dihujani panah sehingga di sekitar tempat itu banjir madu. Begawan Bahusena membantu Prabu Kuswanalendra, tempat itu di sabda menjadi kerajaan di beri nama negara Madura (Mandura), Prabu Kuswanalendra menjadi raja pertama bergelar Prabu Kuswanalendra atau Prabu Basukiswara. Raden Berjanggapati diperintahkan menebang hutan yang dihuni oleh burung rako (semacam burung bangau), setelah menjadi rata disabda oleh Begawan Bahusena menjadi kerajaan, diberi nama negara Mandaraka. Raden Berjanggapati menjadi raja pertama ber-gelar Prabu Berjanggapati atau Prabu Indraspati.